Pages

Thursday, December 20, 2018

HEADLINE: KPK Ungkap Mahar Politik 20 Cakada, Bawaslu Sulit Membuktikan?

Kasus mahar politik mulai bermunculan di Pilkada Serentak 2018. Sulit untuk membantah, karena adanya mahar politik itu muncul dari pengakuan para calon kepala daerah yang gagal.

Diawali pengakuan La Nyalla Mattalitti yang gagal menjadi calon Gubernur Jawa Timur karena dimintai mahar politik oleh Gerindra, kemudian bermunculan pengakuan lain dari mantan calon kepala daerah di berbagai daerah.

Nilai mahar yang diminta partai politik pun tak tanggung-tanggung, hingga miliaran rupiah.

Berikut beberapa kasus mahar politik yang mencuat ke publik:

1. Pilkada Jatim

Buka-bukaan La Nyalla Mattalitti terkait adanya mahar politik diawali dengan pengungkapan soal adanya permintaan uang miliaran rupiah dari Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Nilainya fantastis, hingga puluhan miliar.

"Di Hambalang saya dipanggil ketemu sama 08 (Prabowo), disampaikan saya ingin maju (Pilkada Jatim) kemudian saya minta izin. Prabowo sempat ngomong, 'Kamu sanggup Rp 200 miliar?' Rp 500 miliar saya siapkan, kata saya, karena di belakang saya banyak didukung pengusaha-pengusaha muslim," ujar La Nyalla di kawasan Tebet, Jakarta, Kamis 11 Januari 2018.

Tak hanya itu, dia juga mendapat kabar dari Ketua DPD Gerindra Jatim Supriyanto bahwa Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto meminta sebesar Rp 40 miliar untuk keperluan operasional di Pilkada.

"Uang saksi dari 68 ribu TPS dikali Rp 200 ribu per orang dan dikali 2 berarti Rp 400 ribu, itu sekitar Rp 28 miliar. Tapi, yang diminta itu Rp 40 miliar dan harus diserahkan sebelum tanggal 20 Desember (2017). Enggak sanggup saya. Ini namanya saya beli rekom. Saya enggak mau," ujar La Nyalla.

Awalnya, dia menganggap Prabowo memintanya uang miliaran rupiah untuk dapat menjadi cagub Jatim hanyalah bercanda.

Namun, ia kaget saat Prabowo menagihnya uang sebesar Rp 40 miliar untuk biaya saksi dalam Pilkada Jatim 2018. "Saya pikir main-main ternyata ditagih betul Rp 40 miliar. Alasannya untuk membayar uang saksi," kata La Nyalla.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon membantah tudingan La Nyalla terkait adanya permintaan uang sebesar Rp 40 milliar oleh Prabowo. Fadli mengaku tidak pernah mendengar ataupun menemukan bukti akan pernyataan itu.

Dia meyakini Prabowo hanya menanyakan kesiapan finansial La Nyalla sebagai kebutuhan logistiknya selama Pilkada Jatim 2018.

"Kalau misalnya itu terkait dipertanyakan kesiapan untuk menyediakan dana untuk pemilik yang digunakan untuk dirinya sendiri, itu sangat mungkin," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis 11 Januari 2018.

2. Pilkada Kota Cirebon

Permintaan uang kepada bakal calon kepala daerah sebagai jalan untuk mendapat rekomendasi partai politik maju di Pilkada 2018 juga diduga terjadi di Kota Cirebon.

Hal itu diungkapkan mantan bakal calon Wali Kota Cirebon Siswandi yang gagal mendaftar di KPU. Siswandi yang sedianya diusung Partai Gerindra, PAN, dan PKS tak diterima KPU lantaran tidak mendapat rekomendasi dari PKS.

Siswandi mengungkapkan ada pembicaraan yang berujung kepada nilai uang. Pembicaraan tersebut saat sore pada hari kedua pendaftaran bakal calon di KPUD.

"Awalnya hanya ratusan juta, makin malam semakin besar jumlahnya sampai miliaran. Katanya setelah itu rekom turun," kata Siswandi, Sabtu 13 Janurai 2018.

Perwira tinggi polri yang pernah bertugas di Badan Narkotika Nasional (BNN) itu mengaku nominal mahar tersebut diminta oleh salah satu pengurus PKS di Kota Cirebon.

Siswandi pun menyerahkan semua pembicaraan tersebut kepada kuasa hukumnya. Namun demikian, dia mengaku kaget atas sikap PKS yang diduga tidak menurunkan rekomendasi lantaran tidak ada uang mahar.

Ketua DPD PKS Kota Cirebon, Karso, usai dimintai keterangan oleh Panwaslu mengaku tidak mengetahui proses terjadinya dugaan permintaan mahar oleh salah seorang oknum pengurus PKS.

"Saya sama sekali tidak tahu karena saat itu saya sedang koordinasi dengan DPD PAN dan Gerindra untuk mengurus proses bahan dan berkas pencalonan di kantor PKS pula," ujar Karso, Selasa 16 Januari 2018.

Dia mengungkapkan, saat itu di hari terakhir pendaftaran KPU, PKS bersama Gerindra dan PAN yang tergabung dalam Koalisi Umat sibuk mengurus kelengkapan berkas sejak pukul 14.30 WIB. Dia juga membantah adanya permintaan mahar untuk mengeluarkan rekomendasi kepada pasangan Siswandi-Euis.

"Tidak ada mahar dan saya sama sekali satu rupiah pun tidak minta mahar," ujar Karso.

3. Pilkada Palangka Raya

Adanya mahar politik dalam Pilkada Serentak 2018 juga diungkapkan pasangan John Krisli dan Maryono. Mereka sebelumnya berencana mengikuti Pilkada Palangkaraya. Namun, langkah pasangan ini gagal karena tak bersedia membayar mahar politik itu. John dan Maryono pun telah membeberkan hal ini kepada Panwaslu, Selasa 16 Januari 2018 malam.

"Saya ke sini bersama Maryono memenuhi undangan (Panwaslu) untuk berdiskusi dan menyampaikan apa yang saya rasakan berkaitan dengan mahar politik," ujar Jhon, saat tiba di Panwaslu Palangkaraya, Selasa malam.

Dalam pertemuan itu, ungkap John, ia menceritakan kronologi masalah yang menimpanya hingga akhirnya gagal mengikuti pemilihan wali kota dan wakil wali kota Palangkara 2018.

John mengaku diminta oleh Partai Gerindra di Palangkaraya untuk membayar uang satu kursi sebesar Rp 350 juta, agar mendapat rekomendasi partai yang dipimpin Prabowo Subianto itu. Di DPRD Kota Palangkaraya, Gerindra memiliki 4 kursi, sehingga total uang yang harus dikeluarkan Rp 1,4 miliar.

Tak hanya Gerindra, ia juga harus membayar uang kursi ke PPP sebesar Rp 1 miliar. PPP memiliki dua kursi di DPRD Kota Palangkaraya.

Partai Gerindra mengaku telah mengembalikan uang yang telah diserahkan oleh pasangan John Krisli dan Maryono.

Ketua DPW Gerinda Kota Palangka Raya, Ida Bagus Suprayatna, mengaku sudah mengembalikan uang sebesar Rp 350 juta. Namun, dia membantah uang tersebut adalah mahar politik. Uang itu, kata Ida, akan digunakan sebagai uang saksi.

"Dan ternyata mereka kecewa karena tidak diusung sehingga muncul opini seolah kegagalan mereka dikarenakan mahar politik. Padahal, ada beberapa faktor yang diambil dalam menentukan bakal calon terpilih oleh masing-masing partai ditingkat pusat," jelas dia.

4. Pilkada Biak Numfor

Dugaan praktik mahar politik di Partai Hanura Kubu Oesman Sapta Odang (OSO) kembali diungkap. Yan Mandenas, kader dari Papua, mengaku diminta uang untuk maju menjadi calon Bupati Biak Numfor.

Ia menunjukkan bukti komunikasinya melalui aplikasi pesan singkat dengan seorang pengurus Hanura. Yan mengaku sempat menemui OSO terkait syarat mahar tersebut.

"Itu saya diminta mahar, minta berapa, satu kursi Rp 350 juta saya harus bayar. Dua kursi Rp 700 juta saya harus bayar," kata Yan di Hotel Sultan, Jakarta Selatan, Kamis 18 Januari 2018.

Kemudian, lanjut dia, Ketua DPP Hanura Benny Ramdhani diminta untuk mengurusnya. Gerah dengan kewajiban mahar tersebut, Yan lantas menghubungi Sekretaris Jendral Hanura Sarifuddin Sudding.

Dia juga memutuskan batal maju menjadi calon Bupati Biak Numfor. Yan kini bergabung dengan Hanura kubu Sudding.

"Ini barang yang terbuka. Beda dulu Pak Wiranto pimpin partai. Kader saya beberapa yang saya hasilkan bisa maju tanpa mahar. Lima kursi pakai gratis. Kita mau yang kayak gitu," Yan menandaskan.

Sementara, OSO sendiri mengatakan , partai politik boleh menerima mahar politik dari calon kepala daerah yang akan diusung. Namun, menurut OSO, uang uang mahar tersebut harus masuk ke kas partai, bukan masuk ke kantong pribadi.

"Mahar politik itu kalau ada mekanisme partai sah saja, tapi harus masuk ke partai enggak boleh masuk kantong sendiri. Haram itu," kata OSO.

Let's block ads! (Why?)

from Berita Hari Ini Terbaru Terkini - Kabar Harian Indonesia | Liputan6.com https://ift.tt/2SZMQCY

No comments:

Post a Comment