Pages

Monday, October 15, 2018

Kabut Prahara di Tanah Para Aulia

Tepat di depan makam Tengku Bantaqiah, terdapat sebuah bangunan besar. Saat pembantaian itu, para ibu dan santri perempuan disuruh berkumpul di atas bangunan tersebut. Rangkang, atau tempat pengajian berlantai dua berkonstruksi kayu itu terlihat masih kokoh sampai sekarang.

Dua buah tangga beton yang menjadi penghubung lantai dua bangunan itu terlihat lumutan. Sementara dinding yang ada di lantai bawah bangunan itu terlihat ada bekas plasteran semen.

Katanya untuk menghilangkan bekas peluru di dinding. Selebihnya, tentu saja untuk menutupi luka-luka yang tertanam jauh di lubuk hati para pemilik kenangan nan suram itu. Terutama keluarga dan santri Tengku Bantaqiah.

Di belakang bangunan itu, terdapat makam santri Tengku Bantaqiah yang jasadnya diambil di lokasi yang dikenal dengan sebutan Kilo 7.

Para santri yang jumlahnya puluhan itu dibunuh secara terpisah. Sebelumnya, mereka diangkut oleh tentara dengan menggunakan truk dari pesantren menuju arah Takengon dengan dalih ingin diobati. Namun, kemudian dihabisi.

Di depan meunasah atau berada di antara rumah Malikul Aziz dan surau terdapat beton berupa bak segiempat dengan ukuran kira-kira 2x1,5 meter. Di dalamnya ditumpuk batu koral berukuran asal. Di antara batu-batu itu ada yang dibalut kain putih.

Menurut kisah, di lokasi itulah Tengku Bantaqiah dan santrinya dikumpulkan, kemudian diberondong secara membabi buta oleh sepasukan tentara, yang saat itu dipimpin oleh Letnan Kolonel Heronimus Guru dan Letnan Kolonel Sudjono. Beton itu sebagai tanda pengingat kejadian itu.

Di sisi kanan agak ke depan dari surau Babul 'Ala Nurillah terdapat rumah peninggalan Tengku Bantaqiah. Saat ini, rumah itu didiami oleh istri dan anak tertuanya bernama Fatimah.

Sementara itu, di dalam rumah Malikul Aziz, saat berbincang dengan Liputan6.com malam itu, duduk pula tiga orang keturunan Tengku Bantaqiah lainnya, yaitu, Malikul Yahya, Malik Sulaiman, dan Fatimah alias Bunda. Terdapat satu lagi anak Tengku Bantaqiah dari istri keduanya, bernama Malikul Mahdi, tetapi ia sedang berada di Banda Aceh.

Rumah Malikul Aziz dan pesantren Babul 'Ala Nurillah berhadapan langsung dengan sungai Krueng Beutong yang memisahkan Desa Blang Meurandeh dan Desa Blang Pu'uk. Menurut Malikul Aziz, sungai ini mengalir hingga ke Kecamatan Kaway XIV dan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat.

Sebagai catatan, Desa Blang Meurandeh berada di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya. Kecamatan ini berada di pedalaman Gunung Singgah Mata, diapit Gunung Abong-Abong dan Gunung Tangga, yang masih segugusan dengan Bukit Barisan.

Luas Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang sekitar 585,88 kilometer persegi, dengan jumlah empat desa, yakni, Blang Puuk, Blang Meurandeh, Kuta Teungoh, dan Babah Suak ditambah satu desa persiapan.

Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang cukup terisolasi. Jaraknya sekitar 74 kilometer dari pusat Kabupaten Nagan Raya. Untuk mencapainya, harus melewati tanjakan serta kelokan tajam di kawasan puncak Gunung Singgah Mata yang curam dan berkabut. Gunung ini berada di ketinggian sekitar 2.800 meter dari permukaan laut.

Berada di dataran tinggi, menjadikan wilayah yang berbatasan dengan Tanah Gayo ini, memiliki cuaca yang cukup ekstrem. Maka banyak diantara penduduknya, khususnya pria, mengenakan beanie atau kupluk, sejenis topi yang dipakai untuk menghangatkan kepala dalam cuaca dingin.

Let's block ads! (Why?)

from Berita Hari Ini, Kabar Harian Terbaru Terkini Indonesia - Liputan6.com https://ift.tt/2QQA6xo

No comments:

Post a Comment